BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan bahasa atau komunikasi pada anak merupakan
salah satu aspek dari tahapan perkembangan anak yang seharusnya tidak luput
juga dari perhatian para pendidik pada umumnya dan orangtua pada
khususnya. Pemerolehan bahasa oleh anak-anak merupakan prestasi manusia
yang paling hebat dan menakjubkan, oleh sebab itulah masalah ini
mendapat perhatian besar. Pemerolehan bahasa telah ditelaah secara intensif
sejak lama. Pada saat itu kita telah mempelajari banyak hal mengenai bagaimana
anak-anak berbicara, mengerti, dan menggunakan bahasa, tetapi sangat sedikit
hal yang kita ketahui mengenai proses aktual perkembangan bahasa.
Berangkat pada pendapat di
atas, Pemerolehan bahasa adalah proses manusia
mendapatkan kemampuan untuk menangkap, menghasilkan, dan menggunakan kata
untuk pemahaman dan komunikasi. Kapasitas ini melibatkan berbagai kemampuan
seperti sintaksis, fonetik,
dan kosakata
yang luas. Bahasa yang diperoleh bisa berupa vokal seperti pada bahasa lisan
atau manual seperti pada bahasa isyarat.
Pemerolehan bahasa biasanya merujuk pada pemerolehan bahasa pertama yang
mengkaji pemerolehan anak terhadap bahasa ibu
mereka serta pemerolehan bahasa kedua yang mengkaji pemerolehan bahasa tambahan
oleh anak-anak atau orang dewasa.
Banyak dari kita yang belum mengetahui bagaimana pemerolehan bahasa pertama itu
terjadi, maka dari itu dalam makalah ini akan kami bahas tentang pemerolehan
bahasa pertama.
B.
Rumusan Masalah
Dari paparan pendahuluan di atas,
maka penulis mengemukakan
pokok masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian pemerolehan bahasa pertama?
2. Bagaimana
proses dan tahapan pemerolehan bahasa pertama?
3. Apa
saja faktor pendukung dan faktor penghambat pemerolehan bahasa pertama?
C.
Tujuan Penulisan
Adapun tujuan utama penulisan makalah ini ialah
sebagai berikut:
1. Untuk memahami
pengertian pemerolehan bahasa pertama.
2. Untuk
mengetahui proses dan tahapan pemerolehan bahasa pertama.
3. Untuk mengetahui
factor pendukung dan factor penghambat pemerolehan bahasa pertama.
BAB II
KAJIAN TEORI
KAJIAN TEORI
A.
Pengertian Pemerolehan
Bahasa Pertama
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah
proses yang berlangsung di dalam otak kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa
pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dengan
pembelajaran bahasa. Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang
terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua setelah dia
memperoleh bahasa pertamanya. Pemerolehan
bahasa berkenaan dengan bahasa pertama, sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan
dengan bahasa kedua (Chaer, 2003:167).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, pemerolehan bahasa pertama
adalah proses awal yang berlangsung pada otak manusia saat ia mulai memperoleh
bahasa.
Menurut Tarigan (Pengajaran
Pemerolehan Bahasa, 2011: 96), pemerolehan bahasa pertama (PB1)
yang bersifat ‘primer’, paling sedikit dalam dua hal: dari segi urutan memang
yang ‘pertama’ dan dari segi kegunaan (hampir dipakai seumur hidup). Akan
tetapi, dalam kehidupan nyata dapat kita saksikan sendiri bahwa banyak orang
yang mempelajari lebih dari satu bahasa. Seorang anak mungkin saja menggunakan
dua bahasa atau lebih sejak lahir, misalnya: ibu berbahasa Jawa, ayah berbahasa Sunda. Ayah dan ibu menggunakan kedua bahasa tersebut
dalam kehidupan sehari-hari keluarga mereka. Secara tidak langsung anak akan
memiliki dua bahasa dalam pemerolehan bahasa pertama.
Menurut Abdul Chaer dan Agustina
(2004:81) bahasa ibu lazim juga disebut bahasa pertama
(disingkat B1) karena bahasa itulah yang pertama-tama dipelajarinya. Sependapat dengan hal itu, Solehan, dkk (2011:25) juga mengatakan bahwa
bahasa pertama adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai oleh
seorang anak. Menurut Arifuddin (2010:114) pemerolehan bahasa
pertama atau bahasa ibu anak-anak di seluruh dunia sama. Kesamaan proses
pemerolehan tidak hanya disebabkan oleh persamaan unsur biologi dan neurologi
bahasa, tetapi juga oleh adanya aspek mentalitas bahasa. Jadi, dapat kita simpulkan
bahwa bahasa pertama (B1) atau
bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali diperoleh oleh seorang individu
dalam kehidupannya. Bahasa ini akan menjadi bahasa yang paling menurani dan
sering digunakan oleh si pemakai bahasa.
Penggunaan bahasa pertama
oleh seseorang memiliki persentase yang tinggi, terutama dalam mengungkapkan hal-hal
yang bersifat personal. Seperti: mengungkapkan perasaan, emosi, marah, dan
sebagainya, orang cenderung menggunakan bahasa pertamanya.
B.
Ragam Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan
bahasa pertama memiliki dua ragam, yakni: (1) Ekabahasa, (2) Dwibahasa.
1.
Ekabahasa (Monolingual): Pemerolehan
bahasa pertama tetapi yang diperoleh hanya satu bahasa.
Contoh:
Ahmed
lahir dalam lingkungan masyarakat Madura dan orangtuanya juga menggunakan
bahasa Madura. Bahasa ini akan digunakan oleh Ahmed untuk berkomunikasi pada
tahun-tahun awal usianya hingga kira-kira umur 5 tahun. Bahkan hingga dewasa
bahasa tersebut tetap dipergunakan. Setelah itu Ahmed kuliah di STKIP PGRI
Jombang, dan Ahmed belajar bahasa Jawa. Bahasa Jawa bagi Ahmed bukan lagi
bahasa pertama, melainkan merupakan bahasa kedua.
2.
Dwibahasa (Bilingual): Pemerolehan bahasa pertama tetapi
yang diperoleh dua bahasa.
Contoh:
Ayah
Hendy berasal dari Yogyakarta dan ibunya dari Surabaya. Untuk berkomunikasi di
rumah orangtua Hendy lebih banyak menggunakan bahasa Jawa, sehingga Hendy sejak
kecil sudah memperoleh bahasa Jawa dan berkomunikasi dengan sanak keluarganya
dengan bahasa Jawa.
Namun,
karena tinggal di Papua dan lingkungan masyarakat menggunakan bahasa Papua,
maka untuk berkomunikasi dengan tetangga sekitarnya, keluarga Hendy menggunakan
bahasa Papua. Di sekolah, dalam suasana santai Hendy berkomunikasi dengan
kawan-kawannya juga menggunakan bahasa Papua.
C.
Tahap
Pemerolehan Bahasa Pertama
Pemerolehan
bahasa pertama melalui empat tahapan, yakni: (1)pengocehan, (2) satu kata,
(3)dua kata, satu frase, (4)ujaran telegrafis.
1.
Tahap Pengocehan (Babling Stage)
Celoteh merupakan ujaran yang memiliki suku kata tunggal
seperti mu dan da. Adapun umur si bayi mengoceh tak dapat ditentukan dengan
pasti. Mar’at (2005:43) menyebutkan bahwa tahap ocehan ini terjadi pada usia
antara 5 dan 6 bulan. Dardjowidjojo (2005: 244) menyebutkan bahwa tahap celoteh
terjadi sekitar umur 6 bulan. Tidak hanya itu. ada juga sebagian ahli
menyebutkan bahwa celoteh terjadi pada umur 8 sampai dengan 10 bulan. Perbedaan
pendapat seperti ini dapat saja. Yang perlu diingat bahwa kemampuan anak
berceloteh tergantung pada perkembangan neurologi seorang anak.
Pada tahap celoteh ini, anak sudah menghasilkan vokal
dan konsonan yang berbeda seperti frikatif dan nasal. Mereka juga mulai
mencampur konsonan dengan vokal. Celotehan dimulai dengan konsonan dan diikuti
dengan vokal. Konsonan yang keluar pertama adalah konsonan bilabial hambat dan
bilabial nasal. Vokalnya adalah /a/. dengan demikian, strukturnya adalah K-V.
Ciri lain dari celotehan adalah pada usia sekitar 8 bulan, stuktur silabel K-V
ini kemudian diulang sehingga muncullah struktur seperti:
K1 V1 K1 V1 K1 V1…papapa mamama
bababa…
Orang tua mengaitkan kata papa dengan ayah dan mama
dengan ibu meskipun apa yang ada di benak tidaklah kita ketahui. Tidak mustahil
celotehan itu hanyalah sekedar artikulatori belaka (Djardjowidjojo, 2005:245).
Begitu anak melewati periode mengoceh, mereka mulai
menguasai segmen-segmen fonetik yang merupakan balok bangunan yang dipergunakan
untuk mengucapkan perkataan. Mereka belajar bagaimana mengucapkan sequence of
segmen, yaitu silabe-silabe dan kata-kata. Cara anak-anak mencoba menguasai
segmen fonetik ini adalah dengan menggunakan teori hypothesis-testing (Clark
& Clark dalam Mar’at 2005:43). Menurut teori ini anak-anak menguji coba
berbagai hipotesis tentang bagaimana mencoba memproduksi bunyi yang benar.
Pada tahap-tahap permulaan pemerolehan bahasa,
biasanya anak-anak memproduksi perkataan orang dewasa yang disederhanakan
sebagai berikut:
Ø menghilangkan
konsonan akhir
blumen bu
boot bu
Ø mengurangi
kelompok konsonan menjadi segmen tunggal:
batre bate
bring bin
Ø menghilangkan
silabel yang tidak diberi tekanan
kunci ti
semut emut
Ø reduplikasi
silabel yang sederhana
pergi gigi
nakal kakal
Menurut beberapa hipotesis, penyederhanaan ini
disebabkan oleh memory span yang terbatas, kemampuan representasi yang
terbatas, kepandaian artikulasi yang terbatas (Mar’at 2005:46-47).
Apakah tahap celoteh ini penting bagi si anak.
Jawabannya tentu saja penting. Tahap celoteh ini penting artinya karena anak
mulai belajar menggunakan bunyi-bunyi ujaran yang benar dan membuang bunyi
ujaran yang salah. Dalam tahap ini anak mulai menirukan pola-pola intonasi
kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa.
2.
Tahap Satu Kata (Holophrastic)
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia antara 12
dan 18 bulan. Ujaran-ujaran yang mengandung kata-kata tunggal diucapkan anak
untuk mengacu pada benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Pada tahap ini pula
seorang anak mulai menggunakan serangkaian bunyi berulang-ulang untuk makna
yang sama. pada usia ini pula, sang anak sudah mengerti bahwa bunyi ujar
berkaitan dengan makna dan mulai mengucapkan kata-kata yang pertama. Itulah
sebabnya tahap ini disebut tahap satu kata satu frase atau kalimat, yang
berarti bahwa satu kata yang diucapkan anak itu merupakan satu konsep yang
lengkap, misalnya “mam” (Saya minta makan); “pa” (Saya mau papa ada di sini),
“Ma” (Saya mau mama ada di sini).
Mula-mula, kata-kata itu diucapkan anak itu kalau rangsangan ada di
situ, tetapi sesudah lebih dari satu tahun, “pa” berarti juga “Di mana papa?”
dan “Ma” dapat juga berarti “Gambar seorang wanita di majalah itu adalah mama”.
Menurut pendapat beberapa peneliti bahasa anak,
kata-kata dalam tahap ini mempunyai tiga fungsi, yaitu kata-kata itu
dihubungkan dengan perilaku anak itu sendiri atau suatu keinginan untuk suatu
perilaku, untuk mengungkapkan suatu perasaan, untuk memberi nama kepada suatu
benda. Dalam bentuknya, kata-kata yang diucapkan itu terdiri dari
konsonan-konsonan yang mudah dilafalkan seperti m,p,s,k dan vokal-vokal seperti
a,i,u,e.
3.
Dua Kata, Satu Frase
Tahap ini berlangsung ketika anak berusia 18-20 bulan.
Ujaran-ujaran yang terdiri atas dua kata mulai muncul seperti mama mam dan papa
ikut. Kalau pada tahap holofrastis ujaran yang diucapkan si anak belum tentu
dapat ditentukan makna, pada tahap dua kata ini, ujaran si anak harus ditafsirkan
sesuai dengan konteksnya.
Pada tahap ini pula anak sudah mulai berpikir secara
“subjek + predikat” meskipun hubungan-hubungan seperti infleksi, kata ganti
orang dan jamak belum dapat digunakan. Dalam pikiran anak itu, subjek +
predikat dapat terdiri atas kata benda + kata benda, seperti “Ani mainan” yang
berarti “Ani sedang bermain dengan mainan” atau kata sifat + kata benda,
seperti “kotor patu” yang artinya “Sepatu ini kotor” dan sebagainya.
4.
Ujaran Telegrafis
Pada usia 2 dan 3 tahun, anak mulai menghasilkan
ujaran kata-ganda (multiple-word utterances) atau disebut juga ujaran
telegrafis. Anak juga sudah mampu membentuk kalimat dan mengurutkan
bentuk-bentuk itu dengan benar. Kosakata anak berkembang dengan pesat mencapai
beratus-ratus kata dan cara pengucapan kata-kata semakin mirip dengan bahasa
orang dewasa. Contoh dalam tahap ini diberikan oleh Fromkin dan Rodman.
“Cat stand up table” (Kucing berdiri di atas meja);
“What that?” (Apa itu?);
“He play little tune” (dia memainkan lagu pendek);
“Andrew want that” (Saya, yang bernama Andrew,
menginginkan itu);
“No sit here” (Jangan duduk di sini!)
Pada usia dini dan seterusnya, seorang anak belajar
B1-nya secara bertahap dengan caranya sendiri. Ada teori yang mengatakan bahwa
seorang anak dari usia dini belajar bahasa dengan cara menirukan. Namun,
Fromkin dan Rodman (1993:403) menyebutkan hasil peniruan yang dilakukan oleh si
anak tidak akan sama seperti yang diinginkan oleh orang dewasa. Jika orang
dewasa meminta sang anak untuk menyebutkan “He’s going out”, si anak akan
melafalkan dengan “He go out”.
Ada lagi teori yang mengatakan bahwa seorang anak
belajar dengan cara penguatan (reinforcement), artinya kalau seorang anak
belajar ujaran-ujaran yang benar, ia mendapat penguatan dalam bentuk pujian,
misalnya bagus, pandai, dsb. Akan tetapi, jika ujaran-ujarannya salah, ia
mendapat “penguatan negatif”, misalnya lagi, salah, tidak baik. Pandangan ini
berasumsi bahwa anak itu harus terus menerus diperbaiki bahasanya kalau salah
dan dipuji jika ujarannya itu benar.
D.
Strategi
Pemerolehan Bahasa Pertama
Sofa (2008) mengemukakan bahwa terdapat empat strategi
pemerolehan bahasa pertama anak. Berikut ini diuraikan keempat strategi
tersebut:
1. Tirulah apa
yang dikatakan orang lain.
Tiruan akan
digunakan anak terus,meskipun ia sudah dapat sempurna melafalkan bunyi. Ada
berbagai ragam peniruan atau imitasi, yaitu imitasi spontan atau spontaneous
imitation, imitasi pemerolehan atau elicited imitation, imitasi segera atau
immediate imitation, imitasi terlambat delayed imitation dan imitasi dengan
perluasan atau imitationwith expansion.
2. Strategi
produktivitas
Produktivitas
berarti keefektifan dan keefisienan dalam pemerolehan bahasa yang berpegang
pada pedoman buatlah sebanyak mungkindengan bekal yang telah Anda miliki atau
Anda peroleh. Produktivitas adalahciri utama bahasa. Dengan satu kata seorang
anak dapat “bercerita ataumengatakan” sebanyak mungkin hal. Kata papa misalnya
dapat mengandung berbagai makna bergantung pada situasi dan intonasi.
3. Berkaitan
dengan hubungan umpan balik antara produksi ujaran dan respons.
Dengan
strategi ini anak-anak dihadapkan pada pedoman: hasilkanlah ujarandan lihatlah
bagaimana orang lain memberi responsi. Stategi produktif bersifat“sosial” dalam
pengertian bahwa strategi tersebut dapat meningkatkan interaksidengan orang
lain dan sementara itu bersifat “kognitif” juga. Hal itu dapatmemberikan umpan
balik kepada pelajar mengenai ekspresinya sendiri terhadapmakna dan juga
memberinya sampel yang lebih banyak, yaitu sampel bahasauntuk digarap atau dikerjakan.
4. Prinsip
operasi.
Dalam
strategi ini anak dikenalkan dengan pedoman: gunakan beberapa “prinsip operasi”
umum untuk memikirkan serta menetapkan bahasa.Selain perintah terhadap diri
sendiri oleh anak, prinsip operasi ini jugamenyarankan larangan yang dinyatakan
dalam avoidance terms; misalnya: hindari kekecualian, hindari pengaturan
kembali.uced imitation.
DAFTAR PUSTAKA
Arifuddin. 2010. Neuropsikolinguistik.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Akhadiah, dkk. 1997. Teori Belajar Bahasa. Jakarta: Universitas Terbuka
Ardiana dan Syamsul Sodiq. 2000. Psikolinguistik.
Jakarta: Universitas Terbuka.
Chaer, Abdul dan Leonie
Agustina. 2004. Sosiolinguistik:
Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Dardjowidjojo, Soenjono. 2008. Psikolinguistik,
Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Solehan, dkk. 2011. Pendidikan
Bahasa Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar